Jumat, 16 Mei 2025

sekolah pelangi

Setiap pagi, sekolahku selalu dipenuhi suara tawa dan semangat. Begitu memasuki gerbang, suasananya terasa hangat—seolah semua sudutnya ingin menyambut siapa pun yang datang. Meskipun bangunannya tidak terlalu besar dan dindingnya mulai memudar warnanya, kebahagiaan di dalamnya selalu terang, seperti pelangi yang muncul setelah hujan.

Di kelas, suasana belajar begitu menyenangkan. Guru-guru kami mengajar dengan cara yang menarik. Pelajaran yang sulit bisa terasa ringan karena selalu ada canda di sela-sela penjelasan. Terkadang kami diajak bermain peran, menyusun kelompok, atau menjawab soal sambil berdiri—semua terasa seperti petualangan kecil di tengah hari sekolah.

Waktu istirahat adalah saat paling ramai. Suara bel belum selesai berbunyi, kami sudah berlarian menuju kantin atau lapangan. Di kantin, selalu ada makanan hangat dan senyum yang ramah menyambut. Di halaman, kami bermain bola atau hanya duduk di teras kelas sambil berbagi cerita dan bercanda. Di mana pun, selalu ada tawa yang mengalir.

Yang membuat sekolah ini terasa istimewa bukan hanya pelajarannya, tapi juga rasa kebersamaan yang kuat. Saat ada teman yang sedih, selalu ada yang datang menenangkan. Saat ada yang juara lomba, semua ikut bangga. Bahkan saat hujan, kami berlari bersama, saling berbagi jaket dan tertawa meski basah kuyup.

Upacara setiap Senin membosankan. Di dalam barisan, kami selalu ribut hingga guru marah. Namun, ada semangat di wajah semua orang—semangat untuk terus tumbuh dan belajar.

Sekolahku mungkin tidak megah, tapi hatiku selalu penuh saat berada di sana. Di tempat inilah aku belajar bukan hanya tentang angka dan huruf, tapi juga tentang arti persahabatan, tolong-menolong, dan mimpi.

Sekolah ini seperti pelangi—berwarna, ceria, dan selalu membawa harapan. 

langit bisa biru lagi

Aku berasal dari keluarga yang tidak sempurna. Orang tuaku bercerai sejak aku masih sangat kecil—bahkan sebelum aku cukup mengerti arti pertengkaran, kehilangan, dan perpisahan. Yang aku tahu, rumahku tidak pernah benar-benar tenang. Suara ribut, diam yang dingin, dan tatapan yang saling menghindar menjadi hal yang biasa.

Ketika mereka berpisah, aku tidak tahu harus merasa lega atau sedih. Yang jelas, ada sesuatu dalam diriku yang ikut patah. Sejak saat itu, aku tumbuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah benar-benar terjawab. Apakah aku salah? Kenapa mereka tidak bisa bertahan? Apa aku akan punya hidup yang bahagia seperti orang lain?

Aku mulai menyimpan semua luka itu dalam diam. Di luar, aku tampak biasa saja. Tapi di dalam, aku sering merasa kosong. Aku mulai mempertanyakan arti kebahagiaan. Kenapa hidup orang lain terlihat mudah dan penuh kasih, sementara aku sibuk menata serpihan yang berserakan?

Suatu sore, saat langit berubah jingga, seseorang yang bijak dalam hidupku berkata pelan, “Langit itu selalu bisa biru kembali, meskipun setelah badai.”

Kalimat itu sederhana, tapi menancap. Aku mulai memahaminya perlahan—bahwa hidup tidak harus sempurna untuk tetap bermakna. Bahwa luka bukan akhir dari segalanya. Bahagia ternyata bukan tentang punya keluarga yang utuh, tapi tentang bagaimana kita memilih untuk sembuh dan melangkah.

Aku mulai menulis. Tentang apa yang kurasakan. Tentang kehilangan, tentang kecewa, tapi juga tentang harapan. Setiap kata menjadi langkah kecil untuk berdamai dengan masa lalu. Aku belajar bahwa bahagia adalah saat aku berhenti menyalahkan, dan mulai menerima diri sendiri.

Kini, setiap kali aku melihat langit biru, aku tersenyum. Karena aku tahu: aku juga bisa biru kembali. Aku juga bisa utuh, meskipun berasal dari bagian yang pernah pecah.

Aku lahir dari perpisahan, tapi aku tumbuh dari harapan.
Dan aku tahu, langit... selalu bisa biru kembali.

sekolah pelangi

Setiap pagi, sekolahku selalu dipenuhi suara tawa dan semangat. Begitu memasuki gerbang, suasananya terasa hangat—seolah semua sudutnya ingi...